Andromeda Javas Karimullah. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Jumat, 20 Mei 2011

Asal Mula Ilmu Nahwu

Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab mempunyai kaidah-kaidah tersendiri di dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu hal, baik berupa komunikasi atau informasi.

Lalu, bagaimana sebenarnya awal mula terbentuknya kaidah-kaidah ini, dan kenapa dikatakan dengan istilah nahwu?. Simak artikel berikut.


Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun ketika Islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang. Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu.


Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad-Duali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Sayidina Ali Bin Abi Thalib, KW.
Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata, مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya.
Kemudian sang ayah mengatakan, نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّةُ . “Wahai anakku, Bintang-bintangnya”.
Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan, اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ . “Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”.
Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ . “Betapa indahnya langit”. Bukan, مَا اَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan memfathahkan hamzah…


****


Dikisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan, أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..”
Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan.
Seharusnya kalimat tersebut adalah, أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam.
Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali, اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ “Ikutilah jalan ini”.
Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah). Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi. Kemudian, dari Abul Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama) , sampai ke Sibawaih dan Kisai (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).


Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.


Demikianlah sejarah awal terbentuknya ilmu nahwu, di mana kata nahwu ternyata berasal dari ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ponpes Gading Mangu

Pondok Pesantren Terpadu Gading Mangu Perak Jombang

Pondok Pesantren Gading Mangu merupakan salah satu pusat pendidikan agama Islam terbesar di Indonesia, yang menekankan pada pengajaran Al Quran & Al Hadist dan pembentukan akhlakul karimah generasi muda. Pondok Pesantren ini beralamat di desa Gading Mangu Perak Jombang Propinsi Jawa Timur. Lokasinya hanya 400 meter masuk ke utara pasar Jeruk Kecamatan Perak Kabupaten Jombang.

Disamping mendidik generasi muda menjadi mubaligh dan mubalighot handal yang menguasai ilmu Quran dan Hadist serta berakhlak mulia, Pondok Pesantren Gading Mangu sekaligus membina para santrinya agar mempunyai intelektualitas tinggi dan berwawasan global. Karena pondok pesantren ini ditunjang dengan sekolah umum tingkat SMP, SMU dan SMK di bawah pengelolaan Yayasan Budi Utomo.

Pondok Pesantren Gading Mangu saat ini menampung sebanyak 3.500 (tiga ribu lima ratus) siswa terbagi atas 1950 (seribu sembilan ratus lima puluh) santri putra dan 1.550 (seribu lima ratus lima puluh) santri putri berasal dari berbagai daerah di seluruh penjuru Indonesia. Dari jumlah santri tersebut sebanyak 1.139 orang sekolah di SMU Budi Utomo, 917 orang duduk di bangku SMK Budi Utomo dan 806 orang menjadi siswa SMP Budi Utomo.

Keuntungan sistem pendidikan terpadu ini antara lain:
  1. Dalam kurun waktu yang sama siswa bisa menjadi mubaligh atau mubalighot dan menguasai / khatam Quran dan Hadist, sekaligus lulus pendidikan umum SMP, SMU atau SMK.
  2. Biaya pendidikan relatif lebih efisien karena lokasi pondok pesantren menyatu dengan sekolah, tidak perlu biaya transport tambahan. Sedang biaya pemondokan total hanya Rp 190.000,- (seratus sembilan puluh ribu rupiah) per bulan sudah termasuk uang makan.
  3. Karena kegiatan sekolah dan pondok yang ketat maka siswa dituntut hidup disiplin, tidak ada waktu luang untuk kegiatan sia-sia; seperti keluyuran, nonton TV dan main game secara berlebihan, dugem dan aktivitas lain yang menjurus pada pelanggaran hukum dan aturan agama.
  4. Karena siswa Pondok Pesantren ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia, maka secara langsung setiap siswa akan saling mengenal dan lebih memahami budaya, geografis dan adat istiadat berbagai etnis bangsa Indonesia

Pondok Pesantren Gading Mangu yang mulai beroperasi tahun 1952 ini memiliki fasilitas antara lain gedung asrama putri, gedung asrama putra, aula, wisma tamu, dapur umum dan pusat kegiatan siswa yaitu Masjid Baitul Antiq yang diresmikan oleh Bupati Jombang H. Soewoto Adiwibowo pada tanggal 7 Januari 1997.


Gedung asrama putri dan Masjid Baitul Antiq di Pondok pesantren Gading Mangu 1

Gedung asrama putra di Pondok Pesantren Gading Mangu 1 Perak Jombang

Ruang makan siswa dan kantin tempat siswa hangout di waktu luang

Program Pendidikan di Pondok Pesantren Gading Mangu meliputi:

Pendidikan Agama
  • Quran; bacaan, terjemahan, dan tafsir
  • Hadist Himpunan
  • Faroidh; hukum pembagian waris
  • Qiroatu Sab'ah
  • Nahwu shorof
  • Kutubu Sittah
Pendidikan Umum
  • Budi pekerti / Akhlakul Karimah
  • Wawasan kebangsaan
  • Olah raga dan Outbond
  • Kewirausahaan / Enterprenuership dan
  • Pengabdian Masyarakat


Pengajian khataman hadist Bukhari di Pondok Gading Mangu, diperuntukkan bagi siswa / siswi yang telah lulus mubaligh atau mualighot. Kelas khataman Bukhori ini diikuti kurang lebih 120 orang siswa laki-laki dan perempuan

Pondok Pesantren Gading Mangu 2

Mengantisipasi perkembangan jamaah Muslim di Indonesia Pondok Pesantren Gading Mangu pada tahun 2000 berkembang ke selatan bersebelahan dengan sekolah Budi Utomo dengan pusat kegiatan di Masjid Luhur Nur Hasan. Sekarang pondok pesantren ini diasuh oleh 140 (seratus empat puluh) guru dan dibantu oleh 135 orang petugas /pegawai.

Tampak ruang terbuka Pondok Pesantren Gading Mangu 2 yang dilingkupi gedung SMK Budi Utomo, Gedung Serbaguna dan Masjid Luhur Nur Hasan. Ruang terbuka ini juga berfungsi sebagai lapangan olah raga dan tempat parkir bagi para pengunjung pondok pesantren.

Di belakang gedung SMK adalah gedung pondok pesantren Gading Mangu 2 yang terdiri dari; asrama putra, ruang belajar mengajar, perpustakaan, wisma tamu, dapur dan ruang makan.


Tampak gedung SMP Budi Utomo dan tempat wudhu berada di sebelah Masjid Luhur Nur Hasan


Para siswa Pondok Pesantren Gading Mangu berbaur dengan masyarakat desa melaksanakan salat berjamaah di Masjid Luhur Nur Hasan